24.6.05

Banjir

Banjir datang lagi, keduakalinya dalam seminggu ini. Kutelusuri gang-gang. Kulihat kelelahan di wajah tetanggaku. Jelang dini hari rampung sudah bersih-bersih rumah. Mereka pasrah, karena banjir sudah bagian dari kehidupan. Air tak bisa dimusuhi, karena air adalah kehidupan. Musuh mereka adalah kemiskinan. Ketidakberdayaan menghadapi birokrat yang sok tahu dari balik jas dan dasinya, dinginnya ac di mobil dan kelihaian memainkan komisi proyek-proyek. Pembangunan atas nama rakyat, kenyamanan bagi rakyat, masih merupakan angan, seperti halnya mimpi-mimpi yang tersaji dari sinetron-sinetron.

Banjir, pada sisi lain, juga menjadi sarana untuk saling menyapa di tengah peluh karena menimba air dari genangan di lantai, di sudut almari. Sapa, menjadi tali pengikat antar manusia yang makin hilang di ibukota ini.

Anggie


21 Juni. Tak pernah, dan tak akan terlupakan. Setahun lalu, anakku pergi, setelah sakit lebih dari 3 minggu. Waktu yang kuhabiskan di rmh sakit itu, di lorong di depan ICU. Dalam tawa, senyum dan tangis. Sudah setahun, tapi aku masih tidak bisa menengok bangunan itu, meski setiap hari kulewati.

Kehilangan anak, kepedihan yang tak tergantikan oleh apapun. Waktu boleh berlalu, namun kenangan itu bagai kepingan film yang setiap saat bisa muncul dengan segala tafsirnya.

Supriono

Memandang lelaki itu, aku termenung. Begitu pahit perjalanan hidupnya. Sepertinya, dia lebih banyak menikmati kegetiran dibanding aku. Tapi kupikir, setiap orang punya jalan masing-masing, dengan segala kegetiran dan kemanisannya.

Dia hidup sejak 1999 di gerobak, bersama kedua anaknya. Salah satu anaknya meninggal, dan akan dibawanya ke Bogor naik kereta karena dia tak punya uang untuk menguburkan di Jakarta. Masyarakat lalu terhenyak saat tahu, ada lelaki menggendong anaknya. Nurani tersentak.

Kini, Supriono sudah punya uang puluhan juta, dari sumbangan pembaca koran, pendengar radio dan lainnya. Namun, ia tetap sederhana, dengan senyum polosnya. Ia terkesan pendiam. meski tatapan matanya menyiratkan kepahitan perjalanan hidupnya.

Beginning

Sulit untuk memulai darimana. Begitu banyak perjalanan yang kulalui, bahkan saat aku masih kepala 2, rasanya sudah kujalani hidup puluhan tahun. Kini usia sdh kepala 4. Banyak yang telah terjadi. Banyak yang berubah, dan kulalui perubahan itu.

Tidak semua bisa terucap, tertulis. Hanya kuharap ada manfaatnya jika ada yang mau membuka catatan-catatanku ini.